my journal, suharti hikmayani. "pungutlah hikmah dimanapun kalian mendapatinya"
Laman
Sabtu, 29 Mei 2010
Aku Menangis untuk Adikku Enam Kali
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
----------
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ... Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!"
Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.
Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.
Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas). Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"
Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..." Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."
Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.
Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!" "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
[Diterjemahkan dari "I cried for my brother six times"]
Pliss... Ya Alloh...
Suatu kali saya jatuh cinta! Tau ga rasanya? Boong ah, kalo bilang ga tau! Terus, masalahnya apa? Normal kan...
Masalahnya, saya nyaris kehilangan kendali diri, kehilangan control emosi, kehilangan realitas diri. Saya berubah menjadi orang paling melancolis sedunia, paling romantis (dan sebenernya mah saya dari dulu juga romantis), dan blog saya penuh dengan kata- kata puitis (sebenernya emang puitis dari dulu) Psstt... jangan komentar dulu! Baca sampe selesai. Terus... si dia gimana? Ngakunya sih... he love me too...
Aih...aih..jadiin aja!
Engga!
Kenapa?
Because of this loping- loping (jatuh cinta maksudnya). Saya rugi besar. Rugi materi mah bisa diganti. Coba itung, waktu yang udah abis ga kerasa karna kepikiran dipenuhi all about him, ga bisa diganti. Ibadah nafilah lolos satu per satu. Hafalan Qur’an belepotan karena ga sempet muroja’ah. Dan sementarawaktu semakin mendekatkan kami, hiks... he choose another women! Blarrr! Langit runtuh! (ini mah hiperbola)
‘Emangnya dari awal ga sadar?’
Sadar! Sadaaaarrrr banget! Sadar kalau seharusnya ketika ada rasa yang mulai bertunas, seharusnya saat itu juga dipagari dengann ma’rifatullah, dipancang dengan quwatusshillah billah.Agar tunas itu mekar, tumbuh, kuat, dan berakar nanti saja, pada waktu yang tepat, pada orang yang tepat.
And now... saya kembalikan semuanya kepada-Nya. Saya hapus namanya dalam memori hati, sebab hanya Dia yang boleh ada disana. Jika tidak, saya semakin desperate ketika ada yang menyebut nama dan menceritakan tentangnya. Saya putuskan hubungan dan komunikasi dengannya, dan sambungkan kembali komunikasi dengan-Nya.
Kalo dia nanya, biar Ari Lasso yang jawab, hampa terasa, aku telah hilang ditelan bumi. And this loping-loping, let it gone with the wind.
Jumat, 21 Mei 2010
air mataku
dengan hati yang pilu... akupun terdiam seribu bahasa...
suasanan yang hening ta' lama kemudian... dipecahkan oleh getaran hpku yang menunjukan "pesan masuk"
kubuka pesan itu, ternyata seorang adik kelasku yang merangkai kata" indahnya menjadi seperti ini...
Mencabut nyawa yang hina ini
Sakit... sendiri...
Ta' ada yang menemani...
Dibungkus kain putih dan dibaringkan di atas tanah yang dingin,
Semua pergi, menyesal sudah tiada arti,
Maaf pun sudah ta' mungkin diterima...
Aaaaaahhhh... ampuni aku Ya Alloh..
Berikan kepadaku beberapa hari lagi untuk memperbaiki perilakuku di dunia ini,
Untuk berkeliling meminta maaf pada semua orang yang pernah kusakiti,
Untuk memperbanyak amalku...
Andai itu bisa terjadi...
Kan ku berikan yang terbaik pada semuanya...
Ayah... Ibu maafkan semua kesalahanku...
Jasad yang terbaring beku diatas tanah yang dingin,
Dimakan ulat dan cacing,
Hanya amal yang dapat menemani...
Sesalpun tiada arti...
Maafkan aku Ya Alloh...
Robbanna atina fiddun ya hasanah wafil akhiroti hasanah wakina aza bannar..." amin
tangisan memecah gemericik air hujan... indah sekali ucapan itu... yang ta' pernah ku sadari setiap saat... uhibbukki fillah... untuk adik kelasku yang kucinta....
-bukan cerita biasa 20 mei 2010-
Rabu, 19 Mei 2010
7 Langkah Agar Tetap Awet Muda
Walaupun sudah menginjak usia kepala enam, namun seniman itu masih saja memancarkan aura awet muda yang begitu nyata. Namun demikian, pola hidup zaman sekarang yang serba instant, polusi udara dimana-mana, jarang berolah raga, stress, dan kesalahan dalam memilih produk kosmetik, bisa menyebabkan kerutan dan penuaan dini.
Berikut 7 langkah mempertahankan kecantikan agar selalu terlihat awet muda.
1. Konsumsi Buah dan Sayur : Saat ini, banyak ditawarkan makanan cepat saji yang sebenarnya kurang baik untuk kesehatan. Mulailah perbanyak mengkonsumsi sayur dan buah karena vitamin dan mineral yang terkandung dalam buah dan sayur merupakan hal yang sangat dibutuhkan tubuh agar tetap sehat dan untuk kesegaran wajah.
2. Berpikir positif : Tekanan hidup yang cukup tinggi menyebabkan Anda stress. Kondisi stress bisa mempengaruhi kesehatan seseorang, imbas dari kondisi stress akan tampak dari wajah yang nampak kusut dan tidak cerah. Berusaha untuk berpikir positif dan selalu menerima apapun masalah Anda sebagai sesuatu yang baik dan cari solusinya dengan tepat.
3. Hindari Rokok : Selain merusak kesehatan (paru-paru) rokok juga bisa membuat wajah yang mengkonsumsi nampak pucat dan kusam. Oleh karenanya hindari rokok dan berusaha untuk mencari kesibukan agar tidak ada niat untuk mencoba merokok yang justru sangat membahayakan kesehatan.
4. Pilih Kosmetik Yang Sesuai : Pemilihan kosmetik harus sesuai dengan jenis kulit anda. Jika salah memilih, bukan hanya akan menimbulkan iritasi namun juga dapat berpengaruh buruk pada wajah Anda. Jangan pernah mencoba semua merek kosmetik, karena itu hanya akan merugikan Anda.
5. Cukup Tidur : Tidur yang cukup membantu tubuh untuk memperbaiki sel-sel yang rusak. Maka, usahakan agar Anda tidur minimal 8 jam sehari agar kebutuhan ini tercukupi.
6. Gunakan Tabir Surya : Sinar UV pada matahari dapat menyebabkan flek dan kerutan pada wajah. Lindungi wajah Anda dengan menggunakan tabir surya bila Anda harus keluar rumah. Sehingga wajah Anda akan tetap terlihat bersih dan segar.
7. Olahraga Teratur : Hal ini mungkin yang paling dilakukan bagi Anda yang sibuk. Namun usahakan untuk menggerakan tubuh agar otot dan organ tubuh yang lain sehat. Usahakan untuk berolahraga minimal 2 kali seminggu, dengan melakukan olahraga secara teratur tubuh anda akan terasa bugar dan sehat sepanjang hari.
Selasa, 18 Mei 2010
Tiga Cara Alami Agar Jerawat Kempes
VIVAnews – Saat jerawat tumbuh, pasti Anda berharap noda di wajah yang mengganggu itu segera lenyap. Agar jerawat cepat kempes, tanpa perlu membeli obat yang mahal, ada tiga cara mudah yang bisa dilakukan, seperti dikutip dari Shineyahoo.
1. Aspirin Aspirin bukan hanya bisa digunakan untuk meredakan rasa sakit, tetapi juga mencegah jerawat menjadi parah. Ambil satu butir aspirin, hancurkan hingga halus kemudian basahi sedikit dengan air hingga kental. Tampelkan cairan kental aspirin pada jerawat selama beberapa menit, hingga kering kemudian bersihkan dengan air. Cara ini akan mengurangi kemerahan dan meredakan rasa sakitnya.
2. Minyak zaitun Buatlah ramuan dengan mencampurkan 4 sendok makan garam dan 3 sendok makan minyak zaitun. Aplikasikan ramuan tersebut pada wajah menggunakan kuas atau jari-jari Anda. Biarkan selama 1-2 menit, lalu bilas dengan air hangat dan sabun. Lakukan perawatan ini dua atau tiga kali seminggu. Anda akan melihat perubahan nyata pada kulit wajah. Garam bisa membersihkan pori-pori dengan dengan eksfoliasi, kandungan mineralnya membuat kulit lebih sehat dan minyak zaitun bisa mengembalikan kelembaban alami kulit.
3. Pasta gigi Anda harus menghadiri acara resmi esok hari, sementara jerawat terlihat menonjol. Gunakan pasta gigi pada malam hari dan biarkan kering hingga pagi hari. Pasta gigi membuat jerawat cepat kering dan menyerap minyak. Tetapi, sebaiknya cara ini tidak dilakukan jika kulit termasuk sensitif, karena dapat menyebabkan iritasi. (umi)
Sabtu, 08 Mei 2010
Kisah Piluku
Aku sangat menginginkan kesempurnaan terletak padaku, aku ingin menjadi yang terwah, tak ada satupun yang cacat dari dalam hidupku juga dalam keluargaku. Saat itu ayah yang menjadi tulang punggung kami sudah dipanggil terlebih dahulu oleh yang Maha Kuasa. Tinggalah aku anak semata wayang yang harusnya menjadi tulang punggung pengganti ayah. Tapi semua itu tak ku hiraukan. Aku hanya mementingkan kebutuhan dan keperluanku saja. Sedangkan ibu bekerja membuat makanan untuk para karyawan disebuah dirumah jahit sederhana.
Pada suatu saat ibu datang kesekolah untuk menjenguk keadaan ku. Karena sudah bebarapa hari aku tak pulang kerumah dan menginap dirumahku. Karena rumah kumuh itu membuatku muak, membuatku kesempurnaan yang kumiliki menjadi cacat, akan kuperoleh apapun untuk menggapai sebuah kesempurnaan itu.
Tepat disaat istri rahat, salah satu guru yang berpapasan denganku dikantin sekolah memanggilku.
“Afkar, kau kedatangan tamu!” ucap guru yang berpapasan denganku itu.
“Siapa bu ?”
“Lihat saja ke ruang tamu sekolah!”
Perintah guru itu segera kulaksanakan, aku berjalan melewati lorong-lorong kelas yang sedang ramai, anak-anak sepantarku sedang asiknya menikmati hidup yang semu ini. Beberapa menit kemudian sampailah aku didepan pintu ruang tamu sekolah. Kulihat sosok wanita tua sedang duduk. Bajunya pun bersahaja rapih dan sopan. Itulah ibu ku yang mempunya satu mata. Dan yang selalu membuat aku malu.
“Afkar ?” Ibu memanggilku
“Mau ngapain kamu kesini? Kamu datang hanya untuk mempermalukan aku!”
Beberapa anak-anak yang sedang berjalan didepan ruang tamu sekolah melihat kedalam ruangan yang menjadi neraka bagiku. Bentakkan dariku, membuat dirinya ingin segera bergegas pulang. Dan itulah memang yang kuharapkan. Ibu pun bergegas keluar dari sekolahku.
Karena kehadiranya itu aku benar-benar malu, malu sangat. Sampai beberapa temanku berkata dan menanyakan.
“AFKAR. IBU MU MATANYA SATU YAH?”
Terasa suntikan yang mematikan mendapat pertanyaan seperti itu, aku hanya melewatinya dengan wajah sinis.
Beberapa bulan kemudian aku lulus sekolah, dan diterima di sebuah Institu Negeri di singapura. Aku mendapatkan Beasiswa yang ku incar, kukejar, dan aku ternyata berhasil mendapatkanya. Dengan bangga kubusungkan dada pada orang-orang yang sempat menghinaku. Aku berangkat pergi merantau ke Singapur tanpa memberi tau Ibu, karena bagiku itu tidak perlu, aku hidup untuk diriku sendiri. Persetan dengan ibuku. Seseorang yang selalu mengahalangi kemajuanku. Karena aku MALU.
Di singapur, aku menjadi mahasiswa terpopuler karena kepintaranku. AKu sukses dan pada suatu saat aku menikah dengan seorang gadis Indonesia yang menetap di singapur. Singkat cerita aku menjadi seorang yang sukses, sangat sukses. Tempat tinggal kusangatlah mewah, aku mempunyai satu anak laki-laki berusia tiga tahun, dan aku sangat menyayanginya. Bahkan aku menjaminkan nyawa untuk putraku itu.
10 tahun aku menetap disingapur, belajar dan membina rumah tangga dengan harmonis, dan nyaris sama sekali aku tak pernah memikirkan nasip ibuku. Ibu yang terlah melahirkan aku kedunia ini, membuatku berpijak didunia. Sedikit pun aku tak rindu padanya, aku tak mencemaskanya. Aku BAHAGIA dengan kehidupan ku sekarang.
Hingga pada suatu hari, putra sulungku sedang asik bermain didepan pintu. Tiba-tiba datang seorang wanita tua renta dan sedikit kumuh menghampirinya. Dan kulihat dia adalah Ibu, Ibukun datang kesingapur. Entah untuk apa dan dari mana dia mendapatkan ongkos. Seketika saja ibu ku usir. Dengan enteng aku mengatakan.
“HEY, PERGILAH KAU. KAU MEMBUAT ANAKKU TAKUT!”
Dan tanpa membalas perkataan kasarku. Ibu lalu tersenyum,
“Ma’af kalau begitu saya salah alamat”
Tanpa merasa terhunus, aku masuk kedalam rumah. Sempat istri menanyakan siapa yang datang dan kumarahi, dan aku menjawab “PENGEMIS”
Beberapa bulan kemudian, datanglah sepucuk surat undangan reuni dari sekolah SMA ku. Akupun datang untuk menghadirinya dengan berlasan pada istriku bahwa aku akan dinas keluar negeri. Tibalah aku dikota kelahiranku. Tak lama hanya ingin menghadiri pesta reuni dan sedikit menyombongkan diri yang sudah sukses ini. Berhasil aku membuat seluruh teman-temanku kagum pada diriku yang sekarang ini. Satu hal yang kutakutkan, mereka menanyakan ibu ku yang memalukan itu, karena matanya yang Buta. Tapi untung saja tak ada sepatah kalimat “IBU” yang menghantar padaku.
Reuni selesai, sebelum pulang kesingapur. Aku ingin melihat keadaan rumahku. Tak tau perasaan apa yang membuatku melangkah untuk melihat rumah kumuh dan wanita tua itu. Sesampainya didepan rumah itu, tak ada perasaan sedih atau bersalah padaku, bahkan aku sendiri jijik melihatnya. Dengan rasa tak berdosa, aku memasuki rumah itu tanpa mengetuk terlebih dahulu. Ku lihat rumah ini begitu berantakan Bak kapal pecah yang baru saja terjun dan berhambur ketanah. Aku tak menemukan sosok wanita tua dalam rumah itu, entahlah dia kemana tapi aku merasa beruntung tak menemuinya. Bergegas aku keluar dan tiba-tiba salah satu tetangga dekat rumahku mengenaliku.
“Afkar ? subhanallah afkar, akhirnya kau datang juga. Ibu mu telah meninggal dunia dua minggu lalu”
“Oh….”
Hanya perkataan itu yang bias keluar dari mulutku. Tak tau mengapa tak ada tetesan air mata,jangan tetesan airmata sedikit rasa saja sedih tak aku rasakan saat mendengar ibuku meninggal.
“Ini, sebelum meninggal, ibumu memberikan surat ini untukmu”
Ibu-ibu yang menghampiriku segera bergegas pergi. Ku buka lembar surat yang sudah kucal itu.
Untuk anakku Afkar yang Aku cintai
Demi Allah yang menggenggam nyawaku, yang menguasai ruhku, yang mencintaiku seperti aku mencintaimu walau kau membenciku sangat. Anak ku afkar, ibu tahu kan akan datang ke acara Reuni yang diadakan oleh sekolahmu. Sejujurnya ibu sangat merindukanmu, teramat dalam sehingga setiap sujudku pada Allah pemilik arsy! Aku meminta ampunan untukmu nak.
Asal kau tau saja afkar anakku tersayang, mata yang membuat mu malu ini adalah salah satu dari matamu. Waktu kau kecil, kau dan Ayah mu mengalami kecelakaan yang hebat, tetapi Ayah tidak terluka apa-apa sedangkan mata kananmu mengalami kebutaan. Aku tak tega anak tersayangku ini hidup dan tumbuh dengan mata yang cacat, maka aku berikan satu mataku ini untukmu.
Ya……salah satu matamu adalah mataku.
Kau melihat dengan mataku nak, dan aku bangga padamu karena kau bisa meraih apa yang kau inginkan dan cita-citakan.
Do’akanlah aku diterima disisiNya. Saat aku menulis surat ini, aku yakin maut sudah mengetuk pintu kehidupanku.
Ibumu tercinta
Bak petir disiang bolong yang menghatam seluruh saraf-sarafku, Aku terdiam!
Aku pulang seperti mayat hidup, tak satu patah katapun keluar dari mulutku menyambut senyuman putra tersayangku pun aku tak mampu. Aku benar-benar seperti manusia yang tak bernyawa. Beberapa bulan kemudian, anakku meninggal dunia karena kecelakaan terlindas sebuah bus besar, tubuhnya kecilnya hancur lebur. Jadilah aku mayat yang benar-benar hidup setelah istrikupun ikut meninggalkan aku.
www.islamuda.com
Selasa, 04 Mei 2010
Kisahku @ al-amanah
Ta' terasa sudah 3 tahun ku menuntut ilmu lamanya... para ustadz" dan ummu" semoga ilmu yang kalian berikan itu memiliki keberkahan... amin
Ku ingat saat pertama datang ke sekolah ini, wajah lugu yang mash melekat di diriku menyimpan penasaran dengan sekolah ini.
Banyak kenangan yang ta' terlupankan oleh ku... ku menemukan teman" berbagai macam sikapnya. teman seperjuanganku hanya 6 orang hingga saat ini mereka selalu bersamaku... dulu ada 8orang, 2 lagi entah kemana.. (ampuni aku ya alloh)
Ku ceritakan tentang temannku. saat pertama aku datang aku senang disambut oleh kaka kelasku dan teman" baru ku.. ku hidup bersama ke5 (6 org beserta aku) temanku berbagai aura kita pancarkan setiap hari... ku ingat saat pertengkaran kecil yang membuat kami jauh...
Banyak kenangan yang ta' terlupakan oleh ku, mungkin ini adalah sekolah yang luar biasa, pengalaman ku ya ta' akan bisa ku lupakan dan ta' akan pernah bisa aku lepaskan...
Ku ceritakan sedikit pengalaman ku... kita sering hiking dari gunung ke ngunung, camping, lomba masak saat pelajaran Ustadz Abu... jatuh di sungai bersama teman.. makan sepiring berdua.. main layangan bersama kaka' kelas menjelang perpisahan, oh indah sekali (sad mode on)
hingga saat ini aku ta' bisa melupakan kalian semua... indah ... menginjakkan tahun ke3 aku sadar dan mengerti apa itu teman, sahabat, permasalahan dan bagaimana mengatasinya... sahabat"ku ku ta' akan melupakan kalian...
"ustadz" dan ummu" selama ikma sekolah disini, jika ada perlakuan ikma yang tdk disegani, dan perkataan yang tdk enak didengar maaf kan ikma.. maaaf sebesar"nya karna ku ta' bisa melupakan perjuangan kalian dalam menghadapi kita (anak ang'09-10), sekali lagi jazakallahu khairan katsiran...."
Jujur begitu sulit untuk melupakan al-amanah ini...
"untuk para sahabatku yang akan perhijrah... hati", dan maafkan kesalahanku yang tdk disegani oleh kalian (uhhibukunna fii lah)"
(ahhh... ga bisa nerusin lagi ngetiknya)
sunggguh manis hidup ini... inilah pemberian yang ta' ternilai dari sang Kuasa?
Yang sering kali ta' pernah kita syukuri adanya..
Ya Alloh... Lindungilah mereka yang kucinta...
Sabtu, 01 Mei 2010
Pengantin Surga
Saat itu kudengar namamu disebut oleh malaikat dalam mimpi,
Kau adalah pengantin abadiku.
Kuterbangun dari mimpi,
Kutemukan dirimu menantiku di ujung jalan,
Dengan sekeranjang batu dari surga….
“Maa syaa Allah! Sepagi ini sudah dimulai? Keterlaluan!” Asma’ tergopoh menuju ruang tengah, melihat situasi di jalanan depan rumahnya. Ia menggigit bibir, menahan perih dalam hatinya. Memikirkan anak-anak didiknya di masjid samping rumahnya. Bagaimana hafalan mereka, sudah sampai juz berapa.
Asma’ terkejut saat pundaknya ditepuk oleh adik lelakinya. Usia mereka terpaut dua tahun. Asma’ adalah gadis tujuh belas tahun.
“Hai Asma’! Apa yang kaulakukan di sini. Sudah lewat waktu dluha tetapi kau masih diam saja. Bagaimana murid-muridmu!”
Asma’ tersentak. Ia merasa diingatkan, seharusnya ia mengurusi murid-muridnya, bukannya malah terbengong saja melihat pemandangan biasa di luar rumah. Ya, hari ini, Israel kembali menyerang Gaza untuk ke sekian kalinya. Nampaknya pemboikotan sudah tak begitu mempan bagi warga Gaza, mereka tetap bertahan. Mempertahankan bumi yang di dalamnya terletak masjid yang disebut dalam al-Qur’an surat al-Isra.
“Kau benar wahai Firaz! Baiklah aku akan segera menemui murid-muridku!” tak lama kemudian, Asma’ masuk ke kamarnya, mengenakan cadar lantas melangkah keluar rumah dengan lapang. Sesekali terdengar dentuman senjata-senjata Israel, namun itu tak menyurutkan langkahnya menemui murid-muridnya di masjid seperti biasanya.
Anak-anak kecil usia lima sampai sepuluh tahun berbaris menantinya di teras masjid—yang bangunannya sudah tak utuh lagi—menanti Asma’ sang guru. Di wajah mereka tampak semburat sinar keperkasaan tanpa sedikitpun rasa takut. Asma’ telah menanamkan benih-benih keberanian dalam jiwa-jiwa mereka, sehingga tatkala Asma’ menghampiri mereka, berebut satu persatu dari anak-anak kecil itu berteriak, “Ummi kapan kita berperang!”
“Ummi, kita harus mempertahankan tanah kaum Muslimin ini…” “Tak adakah Ummi, saudara kita dari negeri-negeri kaum Muslimin lainnya yang mendengar teriakan kita meminta bantuan?”
Asma’ menitikkan airmata di balik cadarnya, ia begitu terharu mendengar permintaan murid-muridnya untuk berjihad melawan kafir penjajah. Mereka masih sangat muda, namun pemikirannya sudah sangat jauh melesat melebihi anak-anak lain seusia mereka. Perang dan kematian bukan lagi menjadi sesuatu yang menakutkan. Asma’ sering menceritakan, bahwa jiwa para syuhada itu akan terus hidup dan masuk surga atas izin Allah. Jika kita menolong agama Allah maka Allah akan menolong kita dan meneguhkan kedudukan kita.
“Ummi….Ummi…….!!!” teriak mereka. Asma’ lalu mengajak mereka masuk ke masjid, menenangkan mereka semuanya yang jumlahnya selalu tak pernah berkurang justru semakin bertambah. Sepuluh orang kini.
“Dengarkan Ummi. Meski jumlah kalian sepuluh orang, Allah akan melipatgandakannya menjadi ratusan bahkan ribuan sehingga kafir penjajah itu akan kewalahan menghadapi kalian.”
Kata-kata itu semakin mengobarkan semangat jihad mereka. Asma’ kemudian mengecek hafalan mereka. Yang paling besar, Umar, paling pendiam di antara semuanya sudah hafal 30 juz. Dua hari yang lalu ia membacakan seluruh isi Al-Qur’an dan kini ia hanya ingin segera keluar masjid untuk melawan Israel. Usianya, sembilan tahun.
***
Di tengah kesunyian sepertiga malam, Asma’ menemui Allah. Airmata tak henti-henti mengucur dari sumbernya, ribuan kali ia berdoa agar kaum Muslimin dapat memenangkan peperangan dengan kafir penjajah itu. Tubuhnya semakin kurus sebab makanan pokok sudah sangat susah didapatkan. Harus sembunyi-sembunyi melewati lorong-lorong ke Mesir yang kini perbatasan Jalur Gaza-Mesir diblokade oleh pemerintah Mesir. Ya Allah, di manakah saudara-saudara kami? Di manakah bagian tubuh kami, apakah mereka tak merasakan sakit seperti yang kami rasakan? Ya Allah, sudah matikah hati mereka sehingga tak dapat lagi merasakan perih pada salah satu anggota tubuhnya? Atau mata mereka telah buta sehingga tak dapat melihat pembantaian ini? Ataukah telinga mereka tuli sehingga tak dapat mendengar jerit tangis kami? Apakah tangan mereka telah lumpuh sehingga tak dapat mengulurkan tangan menolong kami? Ya Allah….apakah kaki mereka telah patah sehingga tak dapat berlari menyongsong kami? Di mana mereka? Kelak hanya kepada-Mulah kami kan mengadu di Hari Pembalasan, di sana keadilan kan ditegakkan. Ya Allah…Engkaulah pemilik masjid al-Aqsha maka Engkau pulalah yang akan menjaganya….
“Wahai Asma’!” Firaz telah berdiri di sampingnya. “Mengapa engkau menangis?” “Hai Firaz! Tidak bolehkah aku menangis di hadapan kekasihku?” Firaz yang masih sangat belia itu lalu menceritakan pengalaman ia sehari ini melempari tentara Israel dengan batu-batu tajam. Seorang tentara yang lengah terkena dahinya sehingga darah mengucur deras dan paniklah ia. Itu mengacaukan laju tank mereka, membuat Firaz dan teman-temannya semakin semangat melempari mereka dengan batu.
“Asma’, sudah siapkah engkau menikah?”
Asma’ tentu saja kaget mendengar pertanyaan itu. Ia belum sempat memikirkan masalah itu. Ia hanya memikirkan bagaimana caranya murid-muridnya bisa menjadi mujahid-mujahidah pemberani tanpa rasa takut sedikitpun. Menikah baginya adalah suatu gambaran mimpi yang sulit untuk diwujudkan. Dengan siapakah ia akan menikah, ia tak tahu.
“Menikahlah Asma’! Aku akan menjadi walimu.”
Asma’ teringat Ayahnya yang tewas dibantai tentara Israel sepuluh tahun lalu ketika ia masih kecil. Sedangkan ibunya sudah syahidah ketika melahirkan Firaz. Mereka kini hidup sebatangkara.
Sinar mata Firaz begitu tajam, menghujamkan keyakinan di hati Asma’. Menikah? Dengan siapa?
“Kau akan kunikahkan dengan sahabatku, Abdurrahman namanya. Dia penembak jitu. Setiap batu yang ia lemparkan, nyaris selalu tepat mengenai tentara Israel. Dia kuridhoi agama dan akhlaknya. Insya Allah dia akan menjadi ayah bagi para mujahidmu. Bersamanya, kau akan ke surga, Insya Allah. Menikahlah Asma’, sesungguhnya aku ingin sekali melihatmu bahagia. Kita harus mempersiapkan banyak mujahid agar bisa melanjutkan perjuangan kita…” kini Firaz menepuk pundak Asma’.
Asma’ hanya diam. Seakan-akan ia pernah mendengar nama yang tadi Firaz sebutkan, namun entah di mana. Hanya sayup-sayup…
Firaz tersenyum, “Diammu adalah persetujuanmu.”
***
Tiga hari lagi pernikahan akan dilangsungkan. Asma’ telah membuat sebuah baju pengantin dengan tangannya sendiri. Sejauh ini ia belum pernah bertemu dengan Abdurrahman. Lelaki itu, bersama adiknya selalu berangkat pagi untuk melawan tentara Israel dan pulang tengah malam dengan hasil yang luar biasa. Banyak tentara Israel yang terluka oleh batu-batu yang dilemparkan mereka.
Menanti mujahidnya itu datang, Asma’ senantiasa bersabar mendengar kabar yang menyedihkan sekaligus membahagiakan. Satu persatu murid-muridnya berkurang karena mereka menjadi syuhada perang. Termasuk Umar, pagi tadi ia ditemukan dalam kondisi tubuh terkoyak karena jenazah yang sudah ditembak tentara Israel dimakan oleh anjing-anjing mereka. Airmata Asma’ menetes haru. Kini, semakin sedikitlah muridnya, mereka yang sudah menghafal al-Qur’an dalam usia dini, gugur sebagai syuhada. Maka hari bahagia itu pun datanglah. Asma’ duduk di dalam kamarnya sementara di masjid sedang dilangsungkan akad nikah. Berarti, pagi ini Abdurrahman tidak melempari tentara Israel dengan batu. Berdebar hati Asma’ menanti kedatangannya, yang belum pernah dilihatnya tetapi jika ia sudah mengetuk pintu, artinya dia adalah seorang lelaki yang harus ia cium tangannya. Harus ia patuhi sepenuh hati. Dan dialah Khalifah rumah tangganya.
Waktu terus merayap, hingga waktu dluha telah habis namun pengantinnya tak kunjung mengetuk pintu kamarnya. Lama sekali….
Hingga ahirnya pintu diketuk, Asma’ membukanya ternyata Firaz datang dengan kepala menunduk. Tangan kanannya memegangi perut bagian kirinya “Hai Asma…” suaranya lirih.
Asma’ menahan nafas, menanti kalimat Firaz selanjutnya. “Katakan wahai Firaz!”
“Abdurrahman sudah menjadi suamimu…”
Asma’ mengucap hamdalah.
“Akan tetapi….Allah telah memintanya darimu. Apakah engkau ridho? Selepas akad nikah tadi, dengan ganas tentara Israel masuk dan menembaki siapapun yang ada di masjid. Aku pun…. ah….” ia roboh ke lantai. Tangan kanannya terlepas dari perutnya yang mengucurkan darah segar.
“Masya Allah!” Asma’ merangkul saudaranya, sehingga penuh darahlah baju pengantinnya yang putih dan bersih itu. Rupanya Firaz masih mampu berlari menuju Asma’ untuk memberitahukan kabar gembira bahwa Abdurrahman telah menjadi suami Asma’.
“Laa ilaaha illallah…Muhammad Rasulullah….Allahu Akbar…..” tak lama kemudian, mata Firaz terpejam dengan tenang.
Belum sempat bagi Asma’ untuk menangis, ia melihat dua tentara Israel mendobrak paksa pintu rumahnya. Melihat Asma’ begitu anggun tanpa cadar, membuat dua tentara bengis itu terbakar nafsu hendak menodai pengantin itu. Asma’ begitu marah, hingga rasanya ia ingin balas menyiksa tentara Israel tersebut. Mereka telah membunuh seluruh keluarganya, termasuk suami yang belum pernah dilihat sekalipun wajahnya. Beberapa bongkah batu di dekat Asma’ seakan berbicara padanya, “ambil aku! Lemparkan aku pada mereka, biarkan aku yang menerkamnya atas izin Allah!”.
Asma’ pun meraihnya dan melemparlan tepat di kening seorang tentara. Ia panik. Darah mengucur di wajahnya. Lalu seorang lagi ia lempar dengan batu yang lain hingga keadaannya sama seperti temannya. Mereka meraung. Asma’ segera keluar rumah dengan berlari, ia ingin ke masjid menemui jasad suaminya. Ia ingin mencium tangannya untuk pertama dan terakhir meski dalam keadaan tak bernyawa. Ia terus berlari… Namun, sebelum Asma’ bertemu dengan suaminya di masjid itu, seorang tentara Israel yang sedang berkeliaran di jalan menembaknya dari belakang.
Benda tajam rasanya memotong-motong seluruh tubuhnya. Lama kelamaan ia lemas dan pengantin itu pun roboh ke tanah, sedikit lagi saja untuk sampai ke masjid.
Sebelum nafas terakhirnya terhembus, sebelum dua kalimat syahadat ia senandungkan, ia melihat Abdurrahman untuk pertama kalinya sedang tersenyum padanya dan mengajaknya berjalan berdua. Hanya berdua.[yN]
kutipan: islamuda.com