Laman

Senin, 22 November 2010


Ya Rabb …
Hamba yang hina ini menyadari tiada artinya diri ini di hadapa-MU
Tiada engkau sedikitpun memerlukan akan tetapi …
Hamba terus menggantungkan segunung harapan pada-MU
Jangan jadikan hamba hina dihadapan makhluk-MU
Diri yang tangannya banyak maksiat ini,
Mulut yang banyak maksiat ini,
Mata yang banyak maksiat ini …
Hati yang telah terkotori oleh noda ini …memiliki keinginan setinggi langit
Mungkinkah hamba yang hina ini menatap wajah MU yang mulia ???
Ya Rabb …
Kami semua fakir di hadapan-MU tapi juga kikir dalam mengabdi kepada-MU
Semua makhluk-MU meminta kepada-MU dan pintaku …
Ampunilah aku dan saudara- saudaraku yang telah member arti dalam hidupku
Sukseskanlah mereka mudahkanlah urusannya
Mungkin tanpa kami sadari, kami pernah melanggar aturan-MU
Melanggar aturan qiyadah kami, bahkan terlena dan tak mau tau akan amanah
Yang telah Tuhan percayakan kepada kami…Ampunilah kami
Pertemukan kami dalam syurga-MU dalam bingkai kecintaan kepada-MU
Tuhanku….siangku tak selalu dalam iman yang teguh
Malamku tak senantiasa dibasahi air mata taubat,
Pagiku tak selalu terhias oleh dzikir pada-MU
Begitulah si lemah ini dalam upayanya yng sedikit
Jangan lah kau cabut nyawaku dalam keadaan lupa pada-MU
Atau….dalam maksiat kepada-MU” YaTuhanku…. Tutuplah untuk kami dengan sebaik- baiknya penutupan!!”
Tiada Harap Ku ….
Melainkan Ampunan- mu

ibu.. oh ibu..


Seorang Ukhtiy fillah berkisah :
Siang itu, perutku serasa ada yang me-“ninju-ninju”. Tapi siang itu, rasa tinjuan ada yang berbeda dibandingkan hari-hari yang telah berlalu. Tinjuannya semakin intens, disertai mulas-mulas, seolah tanda keras, akan datangnya waktu yang selama ini kutunggu-tunggu.Kelahiran anakku, yups…kelahiran anak pertamaku.
Tak berselang lama, suamiku langsung siap siaga, dan memang begitulah. Aku dilarikan menuju bidan yang selama ini memeriksa keadaan kandungan selama beberapa bulan sebelumnya. Meski agak jauh dirasa, akhirnya sampai juga. Kebetulan sang bidan pandai menata ruangan, rumahnya ada di daerah pengunungan yang sejuk berlapis indahnya pemandangan, udaranya segar tanpa ada polusi yang berani berkeliaran, sungguh suasana yang sangat menentramkan.
Berdebar- debar terus saja menghinggapi. Pemandangan yang elok nan asri tak sanggup memalingkan perasaan bahagia bercampur lara dan raga ini. Oh…. Akankah diriku sanggup menjalani detik- detik paling menentukan akan kelahiran mujahid masa depan ini? Hingga yang kupertaruhkan pun tidak tangguh- tangguh, antara hidup dan mati.
……(Sensor). Singkat cerita, lahirlah bayi laki- laki.
Ibu, Alhamdulillah wahdah, akhirnya aku jadi ibu. Ibu dari anakku. Pahlawan terhebat bagi proses kelahiran yang sarat akan pilu.
Ibu. Alhamdulillah wahdah, akhirnya mimpi itu menjadi kenyataan yang sangat seru. Semua wanita tahu betul arti kata itu. Sebuah kenyataan yang menawarkan baru. Sekian ….
Barokalloh fik, ukhtiy fillah.
Oh…Ibu…jadi teringat Ibu. Pahlawan sejatiku, getar-getar jiwaku, muara air mataku, penyejuk qolbu. Ibu…Oh…Ibu.
Ibu adalah sebenar- benar keindahan dan kecantikan, permata berharga yang senantiasa terpelihara.
Ibu adalah bunga yang wanginya menghiasi jiwa, bintang yang bersinar menerangi qalbu, selalu menawarkan kehangatan dan kerinduan, keindahan, dan kedamaian, cinta dan kasih sanyang, kelembutan dan keajaiban.
Ibu adalah bagian penting kehidupan, tempat mengadu, tiang urusan, jalan keselamatan, tanda kebesaran Allah yang nyata di hadapan, benar- benar karunia dan rahmat-Nya yang hadir di depan mata.
Ibu adalah kebeningan hati dan jiwa, cinta dan kesetiaan, kerinduan dan kebaikan, penghibur dalam kesedihan, dan pelipur dalam kedudukan. Ibu adalah rahasia kehidupan.
Ibu adalah sumber kebahagiaan, ketenangan, kedamaian, kesejukan, keakraban, dan ketentraman.
Ibu adalah seberkas perjuangan panjang. Bermula dari khabar kehamilan, maka Sembilan bulan adalah perjalanan waktu yang penuh kegembiraan. Berdiri, tidur, makan, dan hembusan nafasnya penuh dengan kepayahan. Kepayahan yang terus berlipat- lipat mengikuti usia kandungan. Fajar yang dating adalah sisa malam yang ia lewatkan tanpa dapat memicingkan mata karena kepedihan, kesakitan, ketakutan, dan kecemasan. Rasa sakit yang kian bertambah hingga air mata tak sanggup tumpah. Kepedihan menyala- nyala diantara tulang- tulang rusuknya demi menumbuh kembangkan rasa di hati sang anak tercinta. Jeritannya, tangisannya, rasa sakitnya saat melahirkan kita adalah utang yang selalu menggantung di leher kita. Utang yang kita tak akan pernah bisa memayarnya. Berkali- kali bergulat dengan detik- detik kematian, berkali- kali seolah melihat sayap- syap malaikat maut sudah ada di hadapan, sehingga kita keluar ke dunia, maka air mata jeritan kita kala itu bercampur dengan air mata kebahagiaannya. Perjuangan yang tidak mungkin dilukiskan oleh tinta pula bisa diungkapkan ole bahasa kata.
Ibu…Oh…Ibu
Engkaulah penyejuk hati, penghapus dahaga saat dunia terasa panas membara.
Engkaulah satu- satunya manusia yang telah membelai dengan kelembutan cinta ketika jiwa terkukung kerasnya dunia.
Engkaulah orang yang tidak pernah menghinakan anakmu ketika manusia yang lainnya tertawa menghina.
Engkaulah sejatinya guru yang mengajarkan anakmu melakukan kebaikan demi tercapainya cita- cita.
Dengan kehadiranmu, cinta, kasih saying serta kerinduan bersemi dan berbunga. Sedang tanpamu, semua terasa gersang, setelah tanpa ada air yang menyiksa.

Sungguh amat pantas apabila ketika kita hendak berbuat baik, maka di urutan pertama hingga ketiga adalah Ibu. Demikianlah jawaban Rasulullah Salallahu alaihi wasalam ketika ditanya tentang siapa yang berhak ditemani dengan baik. Beliau Salallahu alaihi wasalam bersabda:
“Ibumu, kemudian Ibumu, kemudian Ibumu….lalu ayahmu!”(HR.al-Bukhariy dan Muslim)